Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 1/1974”) menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa perkawinan baru sah jika dilakukan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Jadi, UU 1/1974 tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan.
Adapun Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar-agama adalah bahwa perkawinan antar-agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan perkawinan beda agama. Dalam proses perkawinan antar-agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar-agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada Pasal 56 UU 1/1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung. Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya, perkawinan antar-agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan (Soedharyo Soimin, “Hukum Orang dan Keluarga”, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, dan “Himpunan Yurisprudensi Tentang Hukum Perdata”, Jakarta: Sinar Grafika, 1996).
Jika pasangan memiliki aset (rumah) telah diproses KPR sebelum menikah, maka aset tidak termasuk dalam harta bersama, tetapi merupakan harta bawaan salah satu pihak (bergantung aset tercatat atas nama siapa). Berdasarkan hukum waris perdata, maka harta bawaan menjadi harta warisan, berarti aset (rumah) tersebut bisa dituntut oleh pihak keluarga karena status ketika proses KPR dan kepemilikan rumah adalah status belum menikah.</p>